Sejak pemerintahan penjajahan Belanda menguasai Indonesia, mereka
mengetahui dengan baik pengaruh surat kabar terhadap masyarakat
Indonesia. Oleh sebab itu, mereka memandang perlu membuat undang-undang
khusus untuk membendung pengaruh pers Indonesia karena merupakan momok
yang harus diperangi.
1. Pers di masa pergerakan
Setelah muncul pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, surat
kabar yang dikeluarkan orang Indonesia lebih berfungsi sebagai alat
perjuangan. Pers saat itu merupakan “terompet” dari organisasi
pergerakan orang Indonesia. Pers menjadi pendorong bangsa Indonesia
dalam perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa. Contoh harian
yang terbit pada masa pergerakan, antara lain:
a. Harian Sedio Tomo sebagai kelanjutan harian Budi Utomo terbit di Yogyakarta didirikan bulan Juni 1920.
b. Harian Darmo Kondo terbit di Solo dipimpin Sudarya Cokrosisworo.
c. Harian Utusan Hindia terbit di Surabaya dipimpin HOS Cokroaminoto.
d. Harian Fadjar Asia terbit di Jakarta dipimpin Haji Agus Salim.
e. Majalah mingguan Pikiran Rakyat terbit di Bandung dipimpin Ir. Soekarno.
f. Majalah berkala Daulah Rakyat dipimpin Mocb. Hatta dan Sutan Syahrir.
2. Pers di masa penjajahan Jepang
Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat pemerintah
Jepang dan bersifat pro Jepang. Beberapa harian yang muncul antara lain:
a. Asia Raya di Jakarta
b. Sinar Baru di Semarang
c. Suara Asia di Surabaya
d. Tjahaya di Bandung
Pers nasional masa pendudukan Jepang mengalami penderitaan dan
pengekangan lebih dari zaman Belanda. Namun ada beberapa keuntungan bagi
wartawan atau insan pers yang bekerja pada penerbitan Jepang, antara
lain:
a. Pengalaman karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat
yang digunakan jauh lebih banyak daripada pada masa Belanda.
b. Penggunaan bahasa Indonesia makin sering dan luas. Karena bahasa
Belanda berusaha dihapus oleh Jepang, hal ini yang nantinya membantu
bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa nasional.
c. Adanya pengajaran bagi rakyat agar berpikir kritis terhadap berita
yang disajikan oleh sumber resmi Jepang. Kekejaman dan penderitaan yang
dialami pada masa Jepang memudahkan pemimpin bangsa memberi semangat
untuk melawan penjajah.
3. Pers di masa revolusi fisik
Periode ini antara tahun 1945 sampai 1949 saat itu bangsa Indonesia
berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih tanggal 17 Agustus
1945. Belanda ingin kembali menduduki sehingga terjadi perang
mempertahankan kemerdekaan. Saat itu pers terbagi menjadi dua golongan
yaitu:
a. Pers yang diterbitkan dan diusahakan oleh tentara Sekutu dan Belanda yang dinamakan
Pers Nica (Belanda).
b. Pers yang terbit dan diusahakan oleh orang Indonesia atau disebut Pers Republik.
Kedua golongan ini sangat berlawanan. Pers Republik yang disuarakan kaum
Republik berisi semangat mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha
pendudukan sekutu. Pers Nica berusaha mempengaruhi rakyat agar menerima
kembali Belanda.
Contoh koran Republik yang muncul antara lain: harian Merdeka, Sumber,
Pemandangan, Kedaulatan Rakyat, Nasional, dan Pedoman. Pers Nica antara
lain: Warta Indonesia di Jakarta, Persatuan di Bandung, Suluh Rakyat di
Semarang, Pelita Rakyat di Surabaya, dan Mustika di Medan. Pada masa ini
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Pengusaha Surat Kabar
(SPS) lahir, kedua organisasi ini mempunyai kedudukan penting dalam
sejarah pers Indonesia.
Untuk menangani pers, pemerintah mcmbentuk Dewan Pers tanggal 17 Maret
1959. Dewan terdiri dari orang-orang persuratkabaran, cendekiawan, dan
pejabat pemerintah, dengan tugas:
a. Penggantian undang-undang pers kolonial.
b. Pemberian dasar sosial-ekonomis yang lebih kuat kepada pers
Indonesia (artinya fasilitas kredit dan mungkin juga bantuan
pemerintah).
c. Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia.
d. Pengaturan yang memadai tentang kedudukan sosial dan hukum bagi
wartawan Indonesia (tingkat hidup dan tingkat gaji, perlindungan hukum,
etika jurnalistik, dll).
4. Pers di era demokrasi (1949-1959)
Awal pembatasan terhadap kebebasan pers adalah efek samping dari keluhan
para wartawan terhadap pers Belanda dan Cina. Pemerintah mulai mencari
cara membatasi penerbitan karena negara tidak akan membiarkan ideologi
“asing” merongrong Undang-Undang Dasar. Akhirnya pemerintah melakukan
pemberdelan pers dengan tindakan yang tidak terbatas pada pers asing
saja.
5. Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke
UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan
terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita
Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta. Hal ini
tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi dalam menyambut HUT
Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: “Hak kebebasan individu
disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan
kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan memperoleh
penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan
negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta
tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan
Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap
surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak
menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers
nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan
sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C.
Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan
dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir
tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat
dan dilakukan secara sepihak.
Tindakan penekanan terhadap kemerdekaan pers oleh penguasa Orde Lama
bertambah dengan meningkatnya ketegangan dalam pemerintahan. Tindakan
penekanan ini merosot ketika ketegangan dalam pemerintahan menurun.
Lebih-lebih setelah percetakan diambil alih pemerintah dan wartawan
wajib untuk berjanji mendukung politik pemerintah, sehingga sangat
sedikit pemerintah melakukan tindakan penekanan kepada pers.
6. Pers di era demokrasi Pancasila dan Orde lama
Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan
membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi
Pancasila. Pernyataan ini membuat semua tokoh bangsa Indonesia menyambut
dengan antusias sehingga lahirlah istilab pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers
pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984),
pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi,
sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD’45
Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan
bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar
informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol
sosial yang konstruktif.
Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan
keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang
dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap
warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif
dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya berlangsung
kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari”
(Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back
(kembali seperti zaman Orde Lama).
Prof. Oeraar Seno Adji, SH, dalam bukunya Mas Media dan Hukum
menggambarkan kebebasan pers di alam demokrasi pancasila dengan
karakteristik berikut:
a. Kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan
pendapat dan bukan kemerdekaan untuk memperoleh alat dari expression, seperti dikatakan oleh negara sosialis.
b. Tidak mengandung lembaga sensor preventif.
c. Kebebasan bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak, dan bukan tidak bersyarat sifatnya.
d. la merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas tcrtentu, dan
syarat-syarat limitatif dan demokratis, seperti diakui oleh hukum
internasional dan ilmu hukum.
e. Kemerdekaan pers dibimbing oleh rasa tanggung jawab dan membawa
kewajiban yang untuk pers sendiri disalurkan melalui beroepsthiek
mereka.
f. la merupakan kemerdekaan yang disesuaikan dengan tugas pers sebagai kritik adalah negatif
karakternya, melainkan ia positif sifatnya, bila ia menyampaikan wettigeinitiativen dari pemerintah.
g. Aspek positif di atas tidak mengandung dan tidak membenarkan suatu
konklusi, bahwa posisinya subordinated terhadap penguasa politik.
h. Adalah suatu kenyataan bahwa aspek positif jarang ditemukan kaum
liberatarian sebagai unsur esensial dalam persoalan mass-communication.
i. Pernyataan bahwa pers tidak subordinated kepada penguasa politik
berarti bahwa konsep authoritarian tidak acceptable bagi pers Indonesia.
j. Konsentrasi perusahaan pers bentukan dari chains yang bisa merupakan
ekspresi dari kapitalisme yang ongebreideld, merupakan suatu hambatan
yang deadwerkelijk dan ekonomis terhadap pelaksanaan ide kemerdekaan
pers. Pemulihan suatu bentuk perusahaan, entah dalam bentuk
co-partnership atau co-operative atau dalam bentuk lain yang tidak
memungkinkan timbulnya konsentrasi dari perusahaan pers dalam satu atau
beberapa tangan saja, adalah perlu.
k. Kebebasan pers dalam lingkunganbatas limitative dan demokratis,
dengan menolak tindakan preventif adalah lazim dalam negara demokrasi
dan karena itu tidak bertentangan dengan ide pers mereka.
l. Konsentrasi perusahaan yang membahayakan performance dari pers
excessive, kebebasan pers yang dirasakan berlebihan dan seolah memberi
hak kepada pers untuk misalnya berbohong (the right to lie), mengotorkan
nama orang (the right to vility), the right to invade . privacy, the
right to distort, dan lainnya dapat dihadapi dengan rasa tanggung jawab
dari pers sendiri. la memberi ilustrasi pers yang bebas dan bertanggung
jawab (a free and responsible press).
7. Kebebasan pers di Era Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi.
Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor
kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di
bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa
ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati
kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan
demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi
banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid
baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena
tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang
sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok
Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers
sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak
lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers
nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan
penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan
mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber
informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi.
Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik
atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
b. Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi
hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
c. Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
0 komentar:
Posting Komentar