Menteri
Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) bikin gerah World Health
Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Fadilah berhasil
menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan
senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1). Setelah
virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari
negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal
di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.
Selain
dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama
dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It’s Time for the World to
Change. Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakuakn negara adikuasa
dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus
flu burung. “Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu
burung dengan menjual vaksin ke negara kita,” ujar Fadilah kepada Persda
Network di Jakarta , Kamis (21/2). Situs berita Australia , The Age,
mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO
berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian
H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi.
Karena
itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari
petinggi WHO. “Kegerahan itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah,
monggo mawon. Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja
dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju
menidas kita, lewat WTO, lewat Freeport , dan lain-lain. Coba kalau
tidak ada kita sudah kaya,” ujarnya. Fadilah mengatakan, edisi perdana
bukunya dicetak masing-masing 1.000eksemplar untuk cetakan bahasa
Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku. “Saat ini
banyak yang meminta jadi dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan
kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama dicetak penerbitan
kecil, tapi untuk rencana ini, saya sedang mencari bicarakan dengan
penerbitan besar,” katanya.
Selain
mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950,
mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua. “Saya sedang menulis jilid
kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman
saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus
yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan. Virus yang saya kirimkan
dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George Bush,” ujar menteri
kesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan ini.
Siti
enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyonoyang memintanya menarik buku dari peredaran. “Bukunya sudah
habis. Yang versi bahasa Indonesia , sebagian, sekitar 500 buku saya
bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa
Inggris dijual,” katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik
buku dari peredaran. Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan
peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI
bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu.
Mengubah Kebijakan
Apapun
komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia.
Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS
dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah
dipakai selama 50 tahun. Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas
flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005. Majalah The Economist
London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi
dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung. “Menteri Kesehatan
Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada
vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu
burung, yaitu transparansi, ” tulis The Economist.
The
Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika, edisi pekan
lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik
flu burung 2005 silam. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun
aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena
kasus flu burung. Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan
alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO
CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen.
Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta
laboratorium
litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hongkong?
Fadilah
merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam .
Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim
ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian
dibuat bibit virus. Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah,
ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusaha an
besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka
mengambilnya dari Vietnam , negara korban, kemudian menjualnya ke
seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi. Fadilah marah. Ia merasa
kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah
dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO.
Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun.
Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen
virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka,
dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.
Di
saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para
ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO
CC. Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di
New Mexico , AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang
dari WHO, selebihnya tak diketahui. Los Alamos ternyata berada di bawah
Kementerian Energi AS.
Di
lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima . Lalu untuk apa data
itu, untuk vaksin atau senjata kimia? Fadilah tak membiarkan situasi
ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka,
tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan,
berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang
selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos , memujinya.
Majalah
The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi
transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC
agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia , yang konon telah
ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi
Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta
pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara.
Ia
juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus
yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang
imperialistik dan membahayakan dunia.
Dan,
perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap
menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan
Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting
(IGM) WHO di akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing
virus disetujui dan GISN dihapuskan.
0 komentar:
Posting Komentar